Jatuhnya
Negara Belanda ke dalam kekuasaan Perancis tahun 1804 menyebabkan Belanda berada
di bawah pengaruh pemerintah Perancis dengan status sebagai negara vassal. Negara
vassal merupakan negara taklukan yang sepenuhnya berada di bawah penguasaan
negara lain sehingga urusan pemerintahan Belanda sendiri tidak lepas dari
campur tangan Perancis, untuk mengurusi
segala urusan pemerintahan di Belanda, maka kaisar Perancis Napoleon Bonaparte mengangkat
saudaranya Louis (Lodewijk) Napoleon menjadi Raja Belanda pada tahun 1806
(Simbolon, 2006:89). Sebelum mendapatkan pengaruh dari Perancis, Negara Belanda
sebenarnya merupakan negara yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas di
Nusantara, tetapi dengan status sebagai Negara vassal, Belanda khawatir tidak
bisa mempertahankan wilayah kekuasaanya di Nusantara yang terancam direbut oleh
Inggris yang memang telah menjadi pesaing utamanya di dalam usaha memperluas
wilayah jajahan di Nusantara.
Untuk
mengantisipasi ancaman dari Inggris, maka Pemerintah Belanda menugaskan Herman William
Daendels untuk melaksanakan tugas yang sulit tersebut. Tetapi pada masa
pengabdiannya timbul isu bahwa Daendels hendak membangun kerajaan sendiri di
Nusantara, hal ini menyebabkan Louis Napoleon (Raja Belanda) memanggil pulang
Herman Williams Daendels dan posisinya digantikan oleh Jan Willem Janssens.
Tetapi masa pemerintahan Jan Willem Jansens sendiri tidak berlangsung lama,
dengan persiapan yang singkat pasukan Janssens tak mampu menangkis serangan
dari pasukan Inggris. Setelah kalah bertempur di Meester Cornelis (Jatinegara
Sekarang), Pasukan Janssens lari ke Semarang dan menyerah di daerah Tuntang pada tanggal 18 September 1811. Dengan kekalahan
ini, semua daerah kekuasaan Belanda di Nusantara diambil alih oleh pemerintah
Inggris (1811-1816), kekuasaan tersebut mencakup Jawa, Palembang, Banjarmasin,
Makassar, Madura, dan Sunda Kecil, pusat pemerintahan berkedudukan di Madras,
India, dengan Lord Minto sebagai Gubernur Jenderal (Simbolon, 2006:97).
Untuk
mengurus masalah pemerintahan daerah rampasan dari Belanda ini, maka pemerintah
Inggris menunjuk seorang Letnan Gubernur yang bernama Thomas Stamford Raffles. Pada
masa kepemimpinannya terutama di daerah Jawa, Raffles mengubah sistem tanam
paksa dengan kebijakan landrente atau
pajak bumi yang dilaksanakan berdasarkan hukum adat Jawa, Raffles menetapkan
bahwa semua tanah adalah milik negara, dan rakyat sebagai pemakai (penggarap)
tanah wajib membayar sewa kepada pemerintah. Selain itu Raffles juga membagi
tanah jawa ke dalam 16 keresidenan, serta mengurangi jabatan bupati yang
berkuasa (Raffles, 2008:vi).
Meskipun
berhasil mengalahkan Belanda, masa pemerintahan Inggris di Nusantara tidak
berlangsung lama, karena semua wilayah yang pernah dikuasai Belanda harus
dikembalikan oleh pihak Inggris. Hal ini merupakan konsekuensi dari Convention of London atau Konvensi London yang
ditandatangani pada tanggal 13 Agustus 1814 menyatakan bahwa Inggris harus
mengembalikan sebagian dari wilayah Indonesia kepada Belanda, sedangkan daerah
Afrika Selatan, Ceylon, dan beberapa tempat di India tetap dikuasai oleh
Inggris. Tetapi konvensi tersebut tidak berlaku atas Bangka, Belitung dan
Bengkulu, yang diterima Inggris dari Sultan Najamuddin (Palembang) (Raffles,
2008:vi).
Setelah
selesai menjalankan tugasnya di Jawa, pada tahun 1818 Raffles kemudian diangkat
menjadi Gubernur di daerah Bengkulu. Sama halnya dengan di pulau Jawa, pada
awal pemerintahannya di Bengkulu, Raffles mulai menata kehidupan masyarakat
melalui reformasi di segala bidang, baik dibidang ekonomi, sosial dan politik. Di
bidang politik Raffles menerapkan sistem pemerintahan indirect rule (pemerintahan tidak langsung), agar sistem ini
berjalan dengan baik, maka peran dari kelompok elite sangat dibutuhkan sebagai
perantara pemerintah Inggris dengan rakyat Bengkulu, hal ini berdampak terhadap terbentuknya golongan elite
birokrasi, yang dimaksud kelompok elite birokrasi adalah para pangeran yang
diberi jabatan penting oleh Raffles sebagai regent
(bupati). Regent bertugas untuk
memimpin Kabupaten yang telah dibentuk oleh Raffles. Pada saat itu Bengkulu
terbagi menjadi 3 Kabupaten yaitu Kabupaten Sungai lemau, Kabupaten Sungai
Itam, dan Kabupaten Selebar (Siddik, 1996:94). Di bidang ekonomi Raffles
menghapuskan sistem tanam paksa dan menggantikannya dengan sistem sumbangan
wajib. Untuk menangani masalah sumbangan wajib ini diserahkan kepada para regent,
mereka menerima perintah langsung dari Letnan Gubernur Raffles dan
bertanggungjawab penuh atas wilayah dan penduduknya dalam menjaga ketertiban
dan kemananan, disamping itu juga mempunyai tugas khusus dalam pengawasan dan
pengelolaan pasar, bertanggung jawab atas kelancaran jalan, jembatan dan arus
komunikasi. (Setiyanto, 2006:143)
Dari
daerah Bengkulu Raffles mulai menjelajah pesisir pantai Sumatra untuk mencari
wilayah baru yang akan dijadikan pelabuhan yang lebih menguntungkan dari pada wilayah
Bengkulu. Pada tanggal 29 Januari tahun 1819 Inggris berhasil mendirikan
pelabuhan Singapura yang berada di bawah Kerajaan Johor, sedangkan kerajaan itu
tunduk kepada Belanda. Peristiwa Singapura ini kembali menimbulkan perselisihan
antara Inggris dan Belanda, sehingga pada tanggal 17 Maret 1824 kembali
diadakan perjanjian antara Inggris dan Belanda yang disebut dengan Treaty of London atau Traktat London (Anshoriy,
2008:82). Salah satu isi penting dari traktat ini adalah mengatur
penyerahan semua pemukiman Inggris di Sumatra (Bengkulu) kepada Belanda dan
penyerahan semua wilayah milik Belanda di India serta semenanjung Malaya
(Malaka) kepada Inggris. lebih lanjut perjanjian tentang penyerahan Bengkulu
kepada Belanda tercatat di dalam Traktat London, pada pasal IX yang menyatakan
bahwa “ Fort Marlborough dan semua milik Inggris di Pulau Sumatra dengan ini
diserahkan pada Kerajaan Belanda dan Kerajaan Inggris seterusnya berjanji tidak
akan mendirikan perkampungan di pulau itu maupun mengadakan perjanjian dengan
pangeran, kepala, atau negara di Pulau Sumatra” (Reid, 2005:12).
Wilayah
Bengkulu sendiri secara resmi diserahkan kepada Belanda pada tanggal 6 April
1825, di bidang politik dan pemerintahan langkah pertama yang dilakukan oleh
pemerintah Belanda adalah membagikan wilayah administrasi kepada asisiten
residen Bengkulu dalam 9 Kabupaten. Kemudian menerapkan sistem birokrasi
kolonial, tentu saja tujuan dari birokrasi kolonial ini adalah untuk
mempertahankan kekuasaan dan mencegah munculnya kekuatan-kekuatan yang dapat
membahayakan kelangsungan kekuasaannya. Untuk menjalankan misi ini dengan baik,
fungsi utama dari birokrasi adalah menjalankan peran kontrol terhadap kehidupan
masyarakat. Karena itu prosedur menjadi instrument utama bagi birokrasi yang
misi dan fungsinya adalah menjaga kelangsungan kekuasaan dan kontrol (Dwiyanto,
2011:86).
Untuk
mempermudah pengawasan dan kontrol atas wilayah Bengkulu, maka Belanda membentuk
struktur birokrasi pemerintahan. Di dalam struktur birokrasi kolonial Belanda, jajaran
tertinggi dipegang oleh Gubernur Jendral yang dibantu oleh dewan Hindia (Raad van Indie). Wilayah jajahan dibagi
atas provinsi dan residensi. Para residen, yang terkadang dibantu oleh para
asisten residen, membawahi para kontrolir yang menjadi ujung tombak pelaksanaan
sistem tanam paksa. Sejajar dengan kontrolir, tetapi terpisah, adalah para
bupati yang merupakan jajaran struktur pemerintahan pribumi atau inlandsche Bestuur. Di bawah bupati
adalah wedana dan camat yang membawahi para kepala desa (Poesponegoro, 2008:4).
Mereka inilah yang bertanggung jawab untuk menjalankan misi penjajahan Belanda
dengan baik di Bengkulu.
Pada
awalnya posisi para regent yang
merupakan warisan dari kolonial Inggris tetap diakui oleh pemerintah Belanda,
karena termasuk kedalam konsekuensi dari Traktat London. Tetapi secara perlahan
pemerintah Belanda menganggap para bupati ini sebagai beban bagi mereka,
masalah gaji serta ketidaksenangan rakyat atas sikap para regent yang cenderung bermuka dua membuat pemerintah Belanda merasa
perlu adanya perbaikan birokrasi di wilayah Bengkulu. Perombakan birokrasi ini
secara tidak langsung membuat posisi para regent
mulai tersingkir dari pemerintahan kolonial Belanda. Sehingga berujung dengan
penghapusan gelar regent yang
diberikan oleh Inggris. Penghapusan regenten
bestuur (pemerintahan bupati) ini tampaknya memang telah disengaja oleh
pemerintah kolonial Belanda agar lebih intervensif dalam melaksanakan
penjajahannya di Bengkulu. Menurut A. Pruijs van fer Hoeven dalam Setiyanto (2012:196) menyebutkan bahwa pemerintahan pribumi
warisan Inggris perlu diakhiri karena telah mengakibatkan keadaan yang kurang
baik, bahkan penduduk pribumi sendiri menganggapnya sebagai suatu hal yang
asing.
Bersamaan
dengan dihapusnya gelar regent ini
maka berakhir pula sistem pemerintahan indirect-rule
yang diterapkan kolonial Inggris melalui perantara dari para elite
birokrasi, sementara itu pemerintah Belanda sudah bersiap dengan sistem
pemerintahan direct-rule (pemerintahan
langsung). Diterapkannya sistem direct-rule
ini menutup kesempatan bagi elite pribumi untuk ikut terlibat didalam
birokrasi kolonial Belanda, meskipun ada mereka hanya ditempatkan sebagai
pembantu setia pemerintah Belanda, tetapi sebagian besar dari elite pribumi
sama sekali tidak bisa menikmati haknya sebagai golongan elite di Bengkulu.
0 Response to "Dampak Pelaksanaan Traktat London 1824 Terhadap Sistem Birokrasi Di Bengkulu"
Posting Komentar